Arti Sebuah Keberanian Oleh Monka Agusta Hartanto Penulis adalah mahasiswa Ubaya Siang itu, aku tidak mengira akan bertemu dengannya di lorong pengadilan untuk kasus kriminal. Seseorang yang berusaha kulupakan selama 4 tahun ini. Dia sedang duduk di sebuah kursi dan memperhatikanku. "Maaf, apakah kamu…Eliza Quintora?" sapanya. Aku terpaksa berhenti dan menoleh. "Ya, Anda benar. Dan, Anda siapa?" tanyaku sopan, berusaha untuk menyembunyikan kenyataan bahwa aku memang mengenalnya. Dia tersenyum. "Wah, empat tahun berlalu dan kamu tidak mengenalku lagi? Ini aku, Alexander. Rupanya kamu jadi pengacara ya?" katanya senang. Aku memperhatikan bajunya yang berantakan. Sepertinya dia sedang mengalami suatu masalah sehingga tidak sempat merapikan bajunya. "Kamu bebas tugas? Bagaimana kalau kita makan siang? Aku yang traktir bagianmu. Aku ingin bicara!" katanya lagi sambil memeluk bahuku. Aku terpaksa mengangguk. Kembali aku teringat sewaktu kuliah dulu. Aku banyak terlibat masalah dengannya. Kami merasa cocok satu sama lain karena kami sama-sama dari keluarga yang broken. Hanya, di universitas aku kuliah di jurusan hukum sedangkan dia di jurusan akuntansi. Selama dua tahun, aku terjebak dalam dunia hitam bersamanya. Seks dan narkotik. Hanya dua tahun tapi sudah membuatku sangat rusak. Pada saat tersadar, aku pikir sudah terlambat. Hanya ada satu jalan…Memperbaiki diri dan meneruskan kuliah yang sempat terhenti. Dia adalah salah satu dari banyak orang yang sangsi kalau aku bisa melanjutkan kuliah dan memperbaiki kehidupanku yang sudah rusak. Aku memutuskan keluar dari kota dan universitas itu. Sudah empat tahun dan tidak kusangka akan bertemu dengannya lagi. Di saat aku sudah bisa membangun kehidupanku yang baru dengan pekerjaan dan keluarga yang sekarang kumiliki. Kami memasuki sebuah restoran di dekat gedung pengadilan. Dia segera memesan makanan dan aku hanya memperhatikannya. Setelah pelayan itu pergi… "Apa yang kau inginkan sampai membawaku ke sini?" tanyaku pelan dan berusaha tenang. Dia tersenyum. Senyum yang licik dan mengerikan. "Tentu saja aku minta bantuanmu! Kudengar kamu sudah menjadi pengacara hebat yang tidak pernah kalah dalam pengadilan mana pun!" katanya sambil menatapku. Aku sudah menduganya. Dia pasti ingin aku jadi pengacaranya. Aku berusaha menggunakan kewibawaanku sebagai pengacara untuk menentangnya. "Bagaimana kalau aku menolak?" kataku dengan menahan suara agar tidak bergetar. Dia menyentuh tanganku, tangan yang dingin. "Menolak? Aku rasa kamu tidak akan menolaknya karena kalau kamu menolak…Kamu tahu akibatnya kan? Aku tidak akan segan berbuat apa saja. Masa lalu dan keluargamu itu…" katanya licik. Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak pernah peduli akan masa laluku meski dibuka sekarang. Tidak akan berguna karena sudah empat tahun berlalu. Tapi, dia tahu kalau aku sudah punya keluarga dan aku tidak mau dia merusak keluarga yang sudah susah payah kubangun. Aku tidak ingin ini terjadi. "Ba…baiklah, aku akan membantumu. Tapi berjanjilah, setelah semuanya selesai, kamu tidak akan pernah muncul di hadapanku dan keluargaku lagi!" kataku memohon. Dia tersenyum sinis. "Ya, janji itu mudah sekali. Aku tidak akan mengganggu keluargamu. Mari kita makan. Makanan kita sudah siap," katanya sambil mengambil makanan. Aku sudah tidak bernafsu makan karena aku ingin pergi dari sini. *** Aku terlalu mudah mengambil keputusan hanya karena takut akan perbuatannya. Ternyata dia membunuh seseorang di apartemennya. Semua bukti menunjuk padanya dan tidak ada bukti yang bisa kugunakan untuk membelanya. Selain itu, saat aku datang ke apartemen itu, aku sudah bisa tahu kalau dia memang melakukannya. Karena, seperti inilah caranya saat membunuh orang yang dianggapnya sebagai penghalang. Aku banyak melihatnya membunuh empat tahun lalu. Sehingga, aku tidak merasa asing dengan semua ini. Dan aku semakin merasa tidak berdaya untuk menghadapinya. Jika aku tidak berhasil, keluargaku akan celaka. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dari belakang. "Eliza, kenapa melamun di sini? Kamu membela orang itu?" tanya seorang perempuan padaku. Aku menoleh dan melihat Maria, temanku dari kepolisian. "Maria, kamu bertugas di sini?" tanyaku. "Ya, menyusahkan saja. Oh ya, ada masalah apa dengan orang itu? Mukamu terlihat pucat." "Tidak apa," kataku. Dia menatapku. Lalu… "Kurasa aku tahu apa masalahmu. Kamu sedang diperas?" tanyanya. Aku terkejut dan memandangnya. "Da…dari mana kamu tahu?" tanyaku heran. "Aku sudah tahu kalau orang itu hobi memeras pengacara. Kamu tidak perlu takut Eliza. Semua yang dikatakannya itu bohong!" katanya menghibur. "Kamu tidak mengerti Maria. Aku mengenal dia empat tahun lalu dan aku tahu kesungguhan dalam bicaranya," kataku. Lalu aku menceritakan semua masa lalu yang seharusnya sudah terkubur pada Maria. Dia mendengarkannya dengan penuh perhatian. Setelah aku selesai bicara, dia merenung. "Sudah, jangan pedulikan orang seperti itu. Dia hanya mencoba memerasmu dengan mengungkit masa lalumu. Kamu harus punya keberanian, Eliza! Jangan karena dia mengetahui masa lalumu dan keluargamu lalu kamu akan takut seperti itu dan menurut padanya! Kamu sudah keluar dari dunia hitam itu dan aku beritahu kamu ya, dia sudah hancur! Aku mendapat informasi kalau dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Sekarang dia hanya bisa mengemis pada orang lain! Kamu harus bisa menolak paksaannya kalau kamu memang tidak mau! kamu ini pengacara, mengerti?" katanya tegas. Aku terdiam, sesaat aku merasakan kebenaran dalam perkataannya. "Tapi keluargaku?" tanyaku cemas. "Ya ampun Eliza, sudah kubilang, dia tidak akan berani! Lagipula, rumah keluargamu berada dalam perlindungan polisi. Jadi mereka aman!" katanya lagi. Aku teringat, dia benar. Keluargaku selama ini selalu baik-baik saja meski aku menghadapi masalah berat. Aku berdiri. "Semoga berhasil!" teriaknya. Aku membalasnya dengan lambaian tangan. Dia benar, aku tidak boleh takut. Aku harus punya keberanian sebagai wanita dan pengacara. Selain itu, aku sudah tidak punya masa lalu. Aku adalah orang baru dalam kehidupan ini. Keesokan harinya, aku bertemu dengannya di pengadilan. Dia tersenyum licik. Tapi tidak bertahan lama karena sesudah itu aku dengan tegas menolak paksaannya. Dan sudah bisa kuduga, dia pasti berusaha menyerangku. Tapi untunglah tempat itu adalah pengadilan, sehingga polisi segera menyeretnya menjauhiku. Aku tahu bahwa semuanya sudah berakhir dan aku mendapat pelajaran dari peristiwa ini. Walaupun aku seorang wanita, tapi bukan berarti harus selamanya berada di bawah bayang hitam. Aku adalah seorang yang baru dan akan meneruskan kehidupanku dengan keberanian yang baru.